Mengasuh anak adalah perjalanan yang penuh dengan suka dan duka. Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua adalah saat anak mengalami emosi yang tinggi, seperti marah, sedih, frustrasi, atau panik. Anak yang sedang emosi tidak hanya membuat rumah terasa kacau, tetapi juga dapat memicu emosi orang tua itu sendiri. Jika tidak ditangani dengan cara yang tepat, kondisi ini dapat memengaruhi hubungan jangka panjang antara orang tua dan anak, serta perkembangan emosional si kecil.
Lantas, bagaimana cara menenangkan anak saat emosi tinggi? Apakah harus dimarahi, dinasihati, atau dibiarkan sendiri? Artikel ini akan mengupas secara lengkap mengenai cara memahami dan merespons emosi anak dengan pendekatan yang empatik, ilmiah, dan praktis, mulai dari pengenalan emosi, penyebab ledakan emosi, hingga langkah konkret menenangkan anak sesuai usianya.
1. Mengapa Anak Bisa Mengalami Emosi Tinggi?
Sebelum menenangkan anak, penting untuk memahami mengapa anak bisa meledak secara emosional. Anak-anak masih dalam tahap belajar mengelola emosi mereka. Otak mereka, terutama bagian yang mengatur pengendalian diri (prefrontal cortex), belum berkembang sempurna.
Beberapa penyebab umum anak mengalami emosi tinggi:
-
Lelah atau kurang tidur
-
Lapar
-
Frustrasi karena tidak bisa menyampaikan keinginan
-
Merasa tidak dimengerti
-
Situasi yang terlalu ramai atau penuh tekanan
-
Perubahan rutinitas
-
Terlalu banyak rangsangan (misalnya kebisingan, cahaya, atau keramaian)
-
Mengalami kekecewaan atau kehilangan kecil (mainan rusak, tidak dapat sesuatu yang diinginkan)
2. Peran Orang Tua dalam Regulasi Emosi Anak
Orang tua adalah cermin dan penenang alami bagi anak. Dalam dunia psikologi perkembangan, ini disebut sebagai co-regulation, yaitu proses di mana orang dewasa membantu anak menenangkan diri hingga kelak anak mampu mengatur emosinya sendiri (self-regulation).
Jika orang tua merespons dengan tenang, empatik, dan konsisten, anak belajar bahwa emosi bukanlah sesuatu yang buruk atau memalukan, melainkan sesuatu yang bisa dihadapi dengan cara sehat.
3. Tanda-Tanda Anak Sedang Mengalami Emosi Tinggi
Anak yang sedang emosi tinggi tidak selalu langsung menangis atau berteriak. Tanda-tandanya bisa berbeda tergantung usia dan kepribadian, antara lain:
-
Wajah memerah, menggertakkan gigi, mengepalkan tangan (marah)
-
Menangis kencang, menjerit (frustrasi/sedih)
-
Menyendiri dan menolak bicara (menarik diri)
-
Melempar benda atau memukul (ekspresi fisik)
-
Menolak disentuh, menyuruh orang tua pergi
Mengidentifikasi tanda-tanda awal ini penting agar orang tua dapat merespons sebelum emosi anak mencapai puncaknya.
4. Cara Menenangkan Anak Saat Emosi Tinggi
Berikut adalah langkah-langkah dan strategi praktis untuk membantu menenangkan anak saat ia berada dalam kondisi emosional yang intens:
A. Tetap Tenang, Jangan Ikut Terpancing
Langkah pertama adalah mengendalikan diri sendiri. Anak-anak sering mencerminkan emosi orang tuanya. Jika Anda ikut berteriak atau menunjukkan kemarahan, anak justru akan merasa tidak aman dan emosinya makin meningkat.
Tips:
-
Tarik napas dalam-dalam
-
Ingat bahwa ini bukan serangan pribadi
-
Katakan pada diri sendiri: "Anakku sedang kesulitan, bukan ingin membuat masalah."
B. Berikan Ruang Aman
Jika anak melempar benda atau tantrum hebat, penting untuk memastikan keselamatan fisik. Jauhkan benda berbahaya dan hindari terlalu banyak orang di sekitarnya.
Buat ruang aman:
-
Tenang, tidak terlalu terang
-
Tidak banyak gangguan
-
Tempat di mana anak bisa menangis atau marah tanpa merasa malu
C. Validasi Emosi Anak
Hindari kalimat seperti "Jangan nangis", "Kamu lebay", atau "Gitu aja marah". Kalimat seperti ini membuat anak merasa tidak dimengerti.
Sebaliknya, katakan:
-
“Kamu kelihatan kesal, ya?”
-
“Ayah tahu kamu sedih karena mainannya rusak.”
-
“Kamu kecewa karena tidak dapat main ke luar, ya?”
Validasi adalah jembatan ke ketenangan. Anak merasa diakui dan dihargai perasaannya, bukan ditolak.
D. Gunakan Kontak Fisik yang Menenangkan (Jika Anak Mengizinkan)
Beberapa anak merasa lebih tenang dengan pelukan, dielus punggungnya, atau digenggam tangannya. Tapi penting untuk meminta izin atau membaca bahasa tubuh anak—jangan memaksa sentuhan jika anak menolak.
Contoh:
-
“Mama di sini kalau kamu mau dipeluk.”
-
“Aku tungguin kamu sampai kamu siap bicara.”
E. Latih Teknik Pernapasan atau Grounding
Untuk anak usia 3 tahun ke atas, Anda bisa mulai mengenalkan teknik pernapasan sederhana:
-
Tarik napas seperti mencium bunga, buang napas seperti meniup lilin.
-
Letakkan tangan di perut, rasakan naik turunnya saat bernapas.
Untuk anak lebih besar:
-
Latih teknik 5-4-3-2-1 grounding: sebut 5 hal yang bisa dilihat, 4 yang bisa disentuh, 3 yang bisa didengar, 2 yang bisa dicium, dan 1 yang bisa dirasakan.
F. Gunakan “Kata-Kata Tenang”
Anak-anak belum memiliki kosakata emosional yang cukup. Ajak mereka menamai emosi mereka:
-
“Kamu sedang marah?”
-
“Ini rasanya kecewa, ya?”
-
“Kadang perasaan seperti ini bikin sakit di dada ya?”
Mengajarkan kosakata emosi membantu anak memahami dan mengungkapkan perasaan lebih baik di masa depan.
G. Jangan Memberi Nasihat Saat Anak Masih Emosional
Tunggu hingga anak benar-benar tenang sebelum berbicara soal pelajaran atau nasihat. Ketika sedang dalam kondisi emosional tinggi, bagian otak rasional anak (prefrontal cortex) tidak aktif secara optimal, sehingga nasihat apa pun tidak akan masuk.
Tunggu sampai anak tenang, lalu katakan:
-
“Tadi kamu marah karena… ya?”
-
“Lain kali, gimana kalau kita coba...”
-
“Kalau kamu merasa kesal, kamu bisa bilang…”
5. Menyesuaikan Strategi dengan Usia Anak
A. Bayi (0–2 tahun):
-
Peluk dan tenangkan dengan suara lembut.
-
Gendong dan ayun pelan-pelan.
-
Gunakan white noise atau musik menenangkan.
-
Bayi belum bisa memahami kata-kata—yang penting adalah kehadiran dan kenyamanan fisik.
B. Balita (2–4 tahun):
-
Validasi dengan bahasa sederhana.
-
Gunakan pelukan dan distraksi (mainan, buku, lagu).
-
Jangan banyak bicara saat anak marah—cukup temani.
C. Anak Prasekolah dan SD (5–9 tahun):
-
Ajarkan kata-kata untuk menamai perasaan.
-
Latih teknik pernapasan sederhana.
-
Mulai kenalkan ide “ruang tenang” di rumah.
D. Anak Usia Sekolah (9+):
-
Libatkan mereka dalam memecahkan masalah.
-
Gunakan jurnal emosi atau menggambar sebagai media ekspresi.
-
Ajarkan self-talk positif: “Aku bisa tenang”, “Aku sedang kesal dan itu wajar.”
6. Membangun “Kotak Emosi” atau “Ruang Tenang” di Rumah
Sediakan sudut atau tempat khusus yang bisa digunakan anak saat merasa kewalahan. Ini bukan “ruang hukuman”, tapi ruang pemulihan.
Isi ruang bisa berupa:
-
Bantal empuk
-
Mainan lembut
-
Buku cerita atau gambar emosi
-
Musik atau alat bantu pernapasan (seperti “calm jar”)
-
Kartu afirmasi
7. Hindari Pendekatan yang Bisa Memperparah Emosi Anak
Berikut beberapa respons yang sebaiknya dihindari:
-
Mengolok-olok (“Cengeng amat!”)
-
Mengancam (“Kalau nangis terus, mama tinggalin!”)
-
Mengabaikan total
-
Membandingkan (“Kakakmu nggak pernah kayak gitu.”)
-
Memberi solusi terlalu cepat tanpa validasi
Pendekatan-pendekatan ini hanya akan membuat anak merasa tidak dipahami, merasa bersalah karena emosinya, dan tidak belajar mengelolanya.
8. Setelah Anak Tenang: Momen untuk Mengajari
Setelah badai emosi mereda, inilah saat terbaik untuk berbicara. Jangan abaikan momen ini. Anak siap menerima penjelasan dan belajar dari pengalaman.
Langkah-langkah setelah tenang:
-
Tanyakan: “Apa yang membuatmu merasa seperti itu?”
-
Ucapkan empati: “Mama juga kadang kesal, kok.”
-
Ajarkan cara alternatif: “Lain kali kamu bisa bilang, ‘Aku butuh waktu sendiri.’”
-
Puji keberhasilan anak dalam menenangkan diri: “Tadi kamu bisa ambil napas, hebat!”
9. Kapan Perlu Bantuan Profesional?
Jika anak menunjukkan tanda-tanda berikut secara terus menerus, mungkin perlu bantuan psikolog anak:
-
Tantrum sangat sering dan intens
-
Sering menyakiti diri sendiri atau orang lain saat marah
-
Sulit tenang meski sudah dibantu berulang kali
-
Sangat menarik diri dan tidak mau berbicara sama sekali
-
Ledakan emosi mengganggu kehidupan sehari-hari (sekolah, tidur, makan)
10. Kesimpulan: Anak Tidak Membutuhkan Orang Tua yang Sempurna, Tapi yang Hadir
Menenangkan anak saat emosi tinggi memang membutuhkan kesabaran, ketenangan, dan latihan. Tidak selalu mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan dengan pendekatan yang penuh empati dan konsisten.
Ingatlah:
Anak tidak belajar mengelola emosi dari nasihat, tetapi dari cara kita merespons mereka ketika mereka tidak bisa mengelola emosi mereka sendiri.
Menjadi pendamping yang hadir, yang bersedia memahami, dan tidak takut pada ledakan emosi anak adalah bentuk kasih sayang paling dalam. Dan dari sanalah, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang stabil, penuh kasih, dan mampu memahami dirinya sendiri.